1. PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat
gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya
sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr
banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama.
Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat
berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga
menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini
adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama
agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang
muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup
dalam ketidak harmonisan.
Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah
Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus
dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena
ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan
merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
2. KAJIAN BAHASA
B.1. Pengertian
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata
“toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur
untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara
etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan
kelapangan dada.1 Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi
yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan,
dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.2
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri
untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan
dan ibadah penganut agama-agama lain.
B.2. Penggunaan Kata “Toleransi dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi
secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut
termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan
konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan
gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep
toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam
kehidupan.
3. KAJIAN TEORITIS
C.1. Konsep Toleransi dalam Islam
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi
suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta
agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam
QS. Al-Hujurat ayat 13:
Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan
demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan
dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama
yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam
system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit,
adapt-istiadat, dsb.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas
menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau
dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa
adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus
dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain
selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara
peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan
agama masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan
praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan
keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi.
Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan
keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian
juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya
mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau
toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan
dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling
dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah
(agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.3
C.2. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama
Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10:
Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min
bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan
hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau
kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab
keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari
prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta
menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara
sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai
terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi
perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada
keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan
cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya
perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka
akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan
bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan
agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk
kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).4 Tetapi seandainya
etrjadi perbedaan pemahaman al-Qur’an dan sunnah itu, baik mengakibatkan
perbedaan pengamalan ataupun tidak, maka petunjuk al-Qur’an adalah:
C.3. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama
(Non-Muslim)
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi
hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama
masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa
adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah,
dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat
praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena
toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut
keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat,
serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup
bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak.
Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling
memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang
berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi
saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata:
“Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi
mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi
bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi
serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi
kemanusiaan kita.
Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an
menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun
Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak
mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau
mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu,
al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system
ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran
ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga
menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system
dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama
selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk
urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan,
persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat,
urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan
sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk
menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik
singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam
interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya
masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling
menyalahkan:
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya
untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’
(titik temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26):
Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama
sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan
dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS.
Al-Mumtahanah: 8):
Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing agama
mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak.
4. KESIMPULAN
5. REFERENSI
- Al-Qur’an Al-Karim
- www.pesantrenonline.com
- Tafsir Pase Surat Al-Kafirun
- Dr. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat, Mizan: Bandung.
1 Tafsir Pase, hal. 110
2 Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama,
www.google.com
3 Tafsir Pase, hal. 110
4 Dr. M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir maudhu’I atas Pelbagai
Persoalan Umat.