Minggu, 04 Juli 2021

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

 

1. PENDAHULUAN Belakangan ini, agama adalah sebuahnama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa ama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan. Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan social bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. 2. KAJIAN BAHASA B.1. Pengertian Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.1 Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.2 Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. B.2. Penggunaan Kata “Toleransi dalam Al-Qur’an Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh/toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gambling. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan. 3. KAJIAN TEORITIS C.1. Konsep Toleransi dalam Islam Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13: Seluruh manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adapt-istiadat, dsb. Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islamtidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah as-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.3 C.2. Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: Dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa orang-orang mu’min bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara 2 orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya. Ayat di atas juga memerintahka orang mu’min untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS.Al-Hujurat:12) Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih saying, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mu’min untuk kembali kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah).4 Tetapi seandainya etrjadi perbedaan pemahaman al-Qur’an dan sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan ataupun tidak, maka petunjuk al-Qur’an adalah: C.3. Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim) Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Sikap toleransi antar umat beragama bias dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita. Mengenai system keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskan pada ayat terakhir surat al-kafirun Bahwa perinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada system ke-Esaan Allah secara mutlak; sedabgkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai system dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak dotemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan: Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan ummatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain setelah kalimat sawa’ (titik temu) tidak dicapai (QS. Saba:24-26): Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak saling menghormati hak-haknya masing-masing (QS. Al-Mumtahanah: 8): Al-Qur’an juga berpesan dalam QS 16: 125 agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak. 4. KESIMPULAN 5. REFERENSI - Al-Qur’an Al-Karim - www.pesantrenonline.com - Tafsir Pase Surat Al-Kafirun - Dr. M.Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan: Bandung. 1 Tafsir Pase, hal. 110 2 Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama, www.google.com 3 Tafsir Pase, hal. 110 4 Dr. M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat.

Sabtu, 03 Juli 2021

Aqiqah dan Qurban

5 Keutamaan Aqiqah Baca
Tujuan dan Keutamaan Aqiqah Baca
Tata Cara Aqiqah, Tuntunan dan Hukumnya Baca 
3 Keutamaan Aqiqah Untuk Anak Baca
Keutamaan Aqiqah dan Manfaatnya Baca 
Dalil dan Fadhilah Aqiqah Baca
Keutamaan Aqiqah Bagi Anak Baca 
5 Keutamaan Aqiqah dan Penjelasannya Baca
4 Keutamaan Aqiqah Baca
Dasar Hukum Aqiqah Baca 
Perbedaan Aqiqah dan Qurban Baca
Filosofi Aqiqah, Pendapat Ahli Fiqih dan Ulama Baca 
Hadits Tentang Aqiqah Baca
Aqiqah Dulu Atau Qurban Dulu Baca  
Keutamaan Hari Arafah dan Ibadah Qurban Baca
Keutamaan Membaca Surat Al Ikhlas pada hari Arafah Baca dan Baca

Kamis, 01 Juli 2021

Hari Yang Paling Mulia Dari Semua

Hari Jumat merupakan hari yang paling mulia dan utama dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Allah Ta’ala mengkhususkan hari Jum’at ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari umat-umat terdahulu.


Oleh karena itulah, Rasulullah SAW sangat mengagungkan, mengistimewakan, serta memuliakan hari jumat di banding hari lainnya. Beliau banyak melakukan berbagai macam ibadah di hari itu. Banyak sekali kemuliaan, dan keistimewaan yang ada di hari jumat di antaranya :

1. Hari Terbaik Diantara Hari Yang Baik
Dari Salamah dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW. bersabda:“Hari terbaik yang terbit padanya matahari adalah hari Jum’at. Sebab pada hari itu Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam as. Dia memasukkan Adam ke surga, pada hari itu ia diturunkan ke bumi, dan pada hari itu terjadi kiamat serta pada hari itu terdapat satu masa dimana tidak seorangpun berdo’a kecuali Dia akan mengabulkan do’a itu. “(HR. Muslim)

2. Hari Jum’at Terdapat Waktu Mustajab Untuk Berdo’a
Abu Hurairah ra. berkata Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya waktu itu (H. Muttafaqun Alaih). Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu Itu Dimulai Dari Duduknya Imam Sampai Pelaksanaan Shalat Jum’at
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaberkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.'” (HR. Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas Akhir Dari Waktu Tersebut Hingga Setelah ‘Ashar
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.”(HR. Abu Dawud)
Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

3. Sedekah Pada Hari Itu Lebih Utama Dibanding Sedekah Pada Hari-Hari Lainnya.
Ibnul Qayyim berkata: “Sedekah di hari Jum’at dibanding dengan sedekah di hari lain adalah seperti sedekah di bulan Ramadhan dibandingkan sedekah di bulan-bulan selainnya”.
Hari Jumat adalah hari dimana sedekah berlipat ganda. Rasulullah SAW bersabda : “Pahala sedekah berlipat ganda pada hari Jumat.”

4. Hari Tatkala Allah Menampakkan Diri Kepada Hamba-Nya Yang Beriman Di Surga.
Sahabat Anas bin Malik dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".

5. Hari Besar Islam Yang Berulang Setiap Pekan.
Dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini (Jumat) Allah menjadikannya sebagai hari Ied bagi kaum muslimin, maka barangsiapa yang menghadiri shalat Jumat hendaknya mandi, jika ia memiliki wangi-wangian maka hendaknya dia memakainya dan bersiwaklah” (HR. Ibnu Majah dan haditsnya dinyatakan hasan oleh Al Albani)

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.

Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

6. Hari Dihapuskannya Dosa-Dosa
Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

7. Orang Yang Berjalan Untuk Shalat Jum'at Akan Mendapat Pahala Untuk Tiap Langkahnya, Setara Dengan Pahala Ibadah Satu Tahun Shalat Dan Puasa.
Aus bin Aus berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

8. Meninggal Di Hari Jum'at Tanda Khusnul Khotimah, Yaitu Dibebaskan Dari Fitnah (Azab) Kubur.
Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Setiap muslim yang meninggal pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).

9. Hari Jum'at, Dipadamkannya Api Neraka
Jahannam itu dinyalakan, yaitu dikobarkan apinya setiap hari dalam sepekan kecuali pada hari Jum’at.
Yang mana hal ini sebagai (salah satu bentuk) pemuliaan terhadap hari yang agung ini. (Lihat Zaadul Ma’ad I/387).

10. Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at
a. Memperbanyak Shalawat
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
b. Membaca Surat Al Kahfi
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
c. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)
d. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)
·         Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
·         Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
·         Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
·         Memakai pakaian yang terbaik.
·         Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.

Semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak.
 Wallahu a’lam.

Agar Musibah Mengundang Rahmat

Setiap manusia di Dunia ini pasti pernah melewati masa-masa ujian dari Allah SWT. Beragam ujian yang dialami manusia di Dunia menjadi sarana yang membuktikan sejauh mana kesabaran, kerelaan dan penerimaannya terhadap ketetapan Allah SWT. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (QS. Al-Mulk: 2).

Nilai dan derajat yang membedakan seseorang yang tertimpa musibah terletak pada bagaimana ia menyikapinya. Menurut Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, kondisi seseorang yang tertimpa musibah -yang tidak mungkin dihindari kejadiannya seperti wafat seorang anak, sakit, kehilangan harta dan seterusnya- terbagi kepada empat tingkatan:
1.      Tingkatan lemah.
2.      Tingkatan sabar, baik karena Allah SWT, maupun lantaran menjaga kehormatannya.
3.      Tingkatan ridha.
4.      Tingkatan syukur. (Bekal orang-orang sabar, hal. 81).
Pertama, tingkatan lemah.
Maksudnya tidak menerima kondisi sambil diiringi rasa kesal. Ini adalah tingkat terendah. Kondisi manusia pada tingkat ini dicirikan dengan rasa kesal kepada Tuhannya. Kesal dengan beragam bentuknya, baik sekedar di hati ataupun dengan lisan dan perbuatan. Hati merasa kesal, kecewa atau marah terhadap Tuhannya. Adakalanya diikuti juga dengan lisan mencela dan memaki, atau juga diiringi dengan perbuatan, seperti menampar wajah, merobek pakaian, memecahkan barang dan seterusnya.
Kondisi ini menjadikan seseorang terhalangi dari pahala Allah SWT. Bahkan ia telah berbuat dosa lantaran sikapnya tersebut. Maka pada tingkatan ini berarti seseorang tertimpa dua bentuk musibah sekaligus; musibah urusan dunianya, dan musibah dalam urusan agamanya lantaran sikap buruk menghadapi musibah.
Kedua, tingkatan bersabar.
Pada tingkatan ini, seseorang tidak menyukai musibah yang melandanya. Namun ia bersabar dan mampu menahan gejolak jiwanya dari melakukan hal yang dibenci Allah SWT. Ia memang benci dengan musibah, tidak suka kejadian buruk yang menimpanya, namun ia mampu menahan jiwanya, tanpa membenci Allah SWT, tanpa berucap kata-kata yang dibenci oleh-Nya, dan tanpa melakukan perbuatan dosa. Ia tetap bersabar, meski tidak menyukai musibah itu sendiri.
Ketiga, tingkatan ridha.
Pada tingkatan ini seseorang ridha dengan musibah yang menimpanya. Menerima dengan lapang dada dan penuh kerelaan. Dalam kondisi seakan-akan seseorang tidak sedang tertimpa musibah apapun.
Keempat, tingkatan syukur.
Ketika mendapati apa yang tidak disukainya, Rasulullah saw berkata: “Segala puji bagi Allah pada setiap kondisi”. (HR. Ibnu Majah). Syukur kepada Allah SWT yang terucap, lantaran pahala dan keutamaan yang dijanjikan oleh-Nya bisa jadi lebih besar dan tidak sebanding dengan derita yang menimpa.
Muslim ketika Tertimpa Musibah
Musibah yang menimpa bisa jadi menyimpan banyak hikmah dan manfaat. Hikmah dan manfaat itu sebagiannya dapat dijangkau oleh pikiran manusia, dan sebagian yang lain tidak, karena sebagian hikmah dan manfaat itu hanya ada dalam ilmu Allah SWT. Misal seseorang tidak mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi kemudian setelah satu kejadian menimpanya. Apa yang terjadi di masa yang akan datang, kepastiannya ada pada ilmu Allah SWT. Manusia juga tidak bisa memastikan apa yang terbaik baginya. Allah SWT, Sang Pencipta yang paling tahu dengan apa yang tebaik bagi makhluk-Nya. “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216). Maka seorang Muslim yang tertimpa musibah dituntut untuk:
a.      Bersabar.
Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157).
Kesabaran dalam kondisi tertimpa musibah menjadi wajib jika kesabaran itu yang akan menghalangi seseorang berbuat dosa lantaran tertimpa musibah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata: “Sabar menjadi wajib sesuai kesepakatan Ulama, ia adalah setengah iman, karena iman memiliki dua bagian, bagian pertama sabar dan bagian kedua syukur”. (Madarijussalikiin, tingkatan sabar).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Rasulullah saw melewati seorang perempuan yang sedang menangis di hadapan kuburan, Rasul berkata: “Bertakwalah kepada Allah SWT dan bersabarlah”.  Pergi sana, engkau tidak merasakan deritaku dan tidak mengetahuinya!”. Maka disampaikan kepada perempuan itu, bahwa lelaki tadi adalah Rasulullah saw. Maka ia mendatangi rumah Nabi, dan tidak menemukan adanya petugas yang menjaga rumah, maka ia berkata kepada Rasul: “Aku tidak mengenalmu (tadi)”. Rasul bersabda: “Sesungguhnya sabar itu pada benturan pertama”. (HR. Bukhari).
Imam Ibnu Hajar berkata: “Maksud dari sabda Rasul “sesungguhnya sabar itu pada benturan pertama” adalah bahwa jika keteguhan hati hadir seketika datanganya peristiwa yang menggoncang jiwa, itulah kesabaran sempurna yang mendatangkan pahala”.
b.      Ridha dengan qadha dan qadar serta berpasrah penuh kepada Allah SWT.
Sifat ini adalah sifat mukmin yang bertawakkal kepada Allah SWT, membenarkan janji-Nya, ridha dengan keputusan-Nya. Percaya kepada qadha dan qadar merupakan bagian dari rukun iman. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab berbunyi: “(Lelaki itu) berkata: “Beritahu aku tentang iman”. Rasulullah saw menjawab: “Engkau beriman kepada Allah SWT, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,kepada rasul-rasulnya, kepada hari akhir, dan beriman kepada qadha dan qadar-Nya yang baik dan buruk”. (HR. Muslim).
c.       Mengucapakn istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).
Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.(QS. Al-Baqarah: 155-156).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan Ummu Salamah ra, beliau berkata: “Aku mendengar rasulullah saw bersabda: “tidak ada seorang hambapun yang tertimpa musibah kemudian ia membaca:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اَللَّهُمَّ آجِرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأخْلُفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا
(Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali, Ya Allah berikan pahala atas musibah yang menimpa dan gantilah dengan yang lebih baik)” kecuali Allah akan memberi ganjaran pahala atas apa yang menimpanya, dan Ia akan mengganti dengan apa yang lebih baik”. (HR. Muslim).
d.      Meyakini bahwa Dunia adalah kampung ujian.
Dunia penuh dengan ujian. Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-baqarah: 155).
e.      Meyakini bahwa keluarga, harta dan apa-apa yang dimiliki hakekatnya adalah milik Allah SWT.
Karena itu, sebagaimana Ia berkehendak memberi, Ia juga berkehendak mengambil. Sebuah syair dari seorang penyair bernama Labid, berbunyi:
Bukanlah harta dan keluarga kecuali hanya titipan belaka.
Pasti titipan itu sewaktu-waktu akan dikembalikan.
f.        Meminta pertolongan dengan perantara shalat.
Allah SWT berfirman: ”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. Al-Baqarah: 45). Ketika dirundung masalah dan urusan yang sangat penting, Rasulullah saw melakukan shalat. “Adalah rasulullah saw jika mendapat masalah ia melakukan shalat”. (HR. Ahmad).
g.      Mengingat-ingat pahala dan balasan besar yang disediakan Allah SWT.
Mengingat pahala dan balasan yang disediakan Allah SWT bagi siapa yang sabar menghadapi musibah bisa mengkondisikan jiwa dan pikiran menjadi tenang dan mudah menerima kondisi. Diantara balasan yang Allah SWT sediakan:
1.      Surga. Allah SWT berfirman: “(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;. (sambil mengucapkan): "Keselamatan bagi kalian karena kesabaran kalian”. Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (QS. Arra’d: 23-24). Rasul saw bersabda dalam hadits qudsi: “Tidak ada balasan bagi seorang hamba mukmin yang Aku (Allah) wafatkan kekasihnya di Dunia kemudian ia bersabar dan mengharap ganjaran dari-Ku, kecuali baginya Surga”. (HR. Bukhari).        
2.      Pahala tak terbatas. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. Azzumar: 10).
3.      Kebersamaan Allah SWT bagi orang-orang sabar. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 153).
4.      Allah mencintai orang-orang yang bersabar. “Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (QS. Ali Imran: 146).
5.      Terhapusnya dosa. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin baik berupa lelah, sakit, panik, sedih, rasa sempit, bahkan duri yang mengenainya, kecuali Allah SWT hapuskan kesalahan dan dosanya”. (HR. Bukhari).
6.      Mendapat doa, rahmat dan petunjuk Allah SWT. “mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Baqarah: 157). Wallahu a’lam.